Selasa, 09 Februari 2010

Cara Membedakan Uang Asli dan Uang Palsu (3D : Dilihat , Diraba dan Diterawang)

Uang palsu adalah uang yang dicetak atau dibuat oleh perseorangan maupun perkumpulan/sindikat tertentu dengan tujuan uang palsu hasil cetakannya dapat berlaku sesuai nilainya dengan sebagaimana mestinya. Untuk mendeteksi, mengidentifikasi dan melihat perbedaan antara uang yang asli dengan uang palsu alias upal diperlukan teknik analisis yang cukup sederhana dan bisa dilakukan siapa saja dengan mudah. Langkah cara 3d tersebut ialah :

1. Dilihat
Lihatlah uang yang anda miliki, apakah warnanya pudar, kusam, pucat, luntur, patah-patah, atau masalah lainnya. Pastikan uang yang anda periksa tadi memiliki warna, corak dan gambar yang baik serta memiliki tanda-tanda uang asli seperti tanda air yang menggambarkan pahlawan-pahlawan nasional, bahan kertas serta benang tali pengaman yang berada di dalam uang tersebut. Uang-uang pecahan besar biasanya memiliki tanda keaslian lain seperti corak gambar dengan warna yang mencolok dan sulit ditiru penjahat. Pastikan uang itu benar-benar asli.

2. Diraba
Usaplah uang tersebut apakah uang itu terasa kasar atau lembut. Uang yang asli biasanya agak kaku dan tebal bahan kertasnya. Di samping itu pada angka atau gambar uang biasanya sengaja dicetak agak menonjol dan akan terasa jika diusap-usap. Rabalah uang anda apakah sudah asli atau belum.

3. Diterawang / Ditrawang
Langkah yang terakhir adalah menerawangkannya ke sumber cahaya kuat seperti matahari dan lampu. Setelah diterawang lihatlah bagian tali pengaman dan tanda mata air apakah dalam kondisi baik atau tidak.
SEJARAH SINGKAT SISTEM
MATA UANG MASYARAKAT

Sepanjang sejarah, masyarakat telah membuat, mengatur dan mengedarkan mata uang mereka sendiri. Disamping menjamin agar kebutuhan tiap-tiap anggota masyarakat terpenuhi, mata uang masyarakat juga melindungi masyarakat dari ketidakstabilan perekonomian diluarnya. Pada masa lalu bentuk mata uang disesuaikan dengan beberapa barang yang ada pada masa tersebut. Demikian pula pada saat ini, sistem ekonomi modern yang kita lihat saat ini merupakan modernisasi mata uang masyarakat.

Baru-baru ini beberapa usaha sedang dilakukan dalam rangka membuat kembali sistem mata uang yang berbasis masyarakat, seperti yang terjadi di Thailand , Indonesia, Meksiko, El Savador , Argentina, Chile, serta Sinegal. Oleh karena sistem tersebut merupakan sistem baru bagi sebagian besar masyarakat sehingga banyak muncul pertanyaan mengenainya. Tulisan artikel ini bertujuan untuk menyajikan informasi singkat dan ringkas tentang sistem tersebut.

Sejarah membuktikan bahwa dalam rangka mensiasati krisis ekonomi yang selalu datang, masyarakat membuat mata uang sendiri untuk wilayahnya. Sistem mata uang masyarakat yang tertua dan masih beroperasi hingga saat ini adalah sistem moneter Guernsey yang terletak diantara Gugusan Pulau Guernsey dan Jersey – Inggris (wilayah yang terkenal dengan perusahaan susu sapinya).
Mata Uang Pulau Jersey, Inggris, 1999.


Selama perang melawan Napoleon, Pemerintah Inggris pada dasarnya bangkrut , dimana 80 % dari keseluruhan penerimaan pajak digunakan untuk membayar hutang pada Bank yang telah menerbitkan mata uang. Walaupun memiliki sumber daya manusia maupun alam ataupun berbagai barang-barang kebutuhan pokok dimiliki, tapi sistem perekonomian tidak berjalan. Hal ini disebabkan tidak adanya uang yang beredar sebagai sebuah media pertukaran.

Sehingga dalam tahun 1816 mereka menerbitkan mata uangnya sendiri. Delapan belas bulan kemudian mereka membayar kembali hutang-hutang ke Bank, memperbaiki sarana dan prasarana umum, membangun gereja serta monumen-monumen. Kini terdapat $36 juta dolar mata uang masyarakat yang beredar di 60 000 orang (Richard Douthwaite, sorth circuit ).
Mata Uang Kota Bremen, Jerman, 1923


Pada akhir perang dunia pertama perekonomian Jerman hancur. Pemerintah pusat telah membuat kesalahan penting yaitu dengan mencetak berjuta-juta mata uang Marks untuk membayar negara-negara pemenang perang dunia maupun perbaikan ekonominya sendiri, hal tersebut malah menyebabkan peningkatan inflasi. Untuk itu beberapa kota di Jerman telah membuat mata uangnya sendiri.

Kemudian Amerika Serikat juga melakukan kesalahan besar yaitu dengan membuat

Stock Market yang menyebabkan kehancuran ekonomi ditahun 1929. Ratusan masyarakat Amerika dan Kanada membuat mata uangnya sendiri dalam rangka pemulihan ekonomi Negara pada umumnya serta pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Analisa atas hasil penerapan sistem mata uang lokal terhadap upaya peningkatan perekonomian setempat didukung oleh sejumlah ahli ekonomi, diantaranya Irving Fisher yang menganjurkan untuk membuat mata uang lokal secara paralel. Ide tersebut berlanjut hingga kini, yang kemudian diungkapkan lewat sebuah buku oleh seorang ahli ekonomi bernama Lewis Solomon, berjudul "Rethinking our Centralized Money System : The Case for a System of Decentralized Local Currencies" kemudian pada saat perekonomian telah pulih dan seluruh kebutuhan masyarakat telah terpenuhi kembali, sistem tersebut tidak dipergunakan kembali.
Mata Uang Propinsi Alberta, Canada, 1936. (Selama Krismon)


Ketika depresiasi mulai menyebar ke Eropa sistem mata uang masyarakat tumbuh, dimulai dari Bavaria, Austria serta negara-negara sekitarnya. Sistem tersebut memiliki keunikan terutama penggunaan "negative interest" dimana biaya sirkulasi dimasukan didalamnya untuk melindungi dari pemalsuan.






Mata Uang Desa Worgl, Jerman, 1931. (Selama Krismon)


Herr Hebecker dari Schwanekirchen , Bavaria (Jumlah penduduk 500 Orang) memiliki tambang batu bara kecil yang telah bangkrut. Dari pada membayar para pekerjanya dengan mata uang Reichsmark, Dia memutuskan untuk membayar mereka dengan batu bara. Dia membuat suatu scrip yang disebutnya Wara, dimana pada salah satu sisi dari naskah tersebut terdapat kotak kecil tempat materai dilekatkan. Naskah ini hanya berlaku dan syah jika materai --mata uang bulanan-- telah dipasang. Karena itu agar naskah tetap berharga dibutuhkannya materai yang akan membubuhi naskah tersebut sehingga dapat berlaku kembali pada setiap akhir bulan. Harga Materai dua per sen dari harga yang tertera dari pada naskah tersebut disetujui untuk digunakan selanjutnya pada setiap bulannya. Pembebanan " Negative–Interest " disetujui sebagai " Storage Cost ". Makanan dan jasa dibayar dengan mengunakan Wara . Karena mata uang ini hanya berharga bagi para pemilik pertambangan, maka para pedagang setempat tidak mempunyai pilihan selain menerimanya, yang pada akhirnya mereka meyakinkan para suppliernya untuk menerimanya pula. Hal itu menjadikannya sangat sukses dimana desa itu menjadi desa yang bebas dari hutang , dan di tahun 1931, Gerakan perekonomian bebas ini telah menyebar keseluruh negara Jerman melibatkan lebih dari 2,000 Usahawan. Antara tahun 1930 – 1931, Wara diterbitkan dimana 2,5 Juta orang telah menjalankannya.


Sistem Mata Uang Masyarakat di tahun 1980an.
Mata Uang New Hampshire, Amerika Serikat, 1999.


Pada tahun 1980-an, sistem mata uang masyarakat mulai muncul kembali. Di tahun 1981, Komputer IBM XT diluncurkan kepada masyarakat umum. Michael Linton yang bekerja pada bidang komputer, pada tahun 1970-an membuat data base akutansi di kepulauan Vancouver-Canada. Di tahun 1982 mulai dikenal sistem perdagangan antar wilayah Local Exchange Trading System (LETS), dan menjadi dasar berdirinya Sistem mata uang dengan kredit bersama (Mutual Credit Community Currency System ). Sistem mata uang lokal merupakan sebagai respon alami terhadap krisis ekonomi yang terjadi, maka dikembangkanya LETS sebagai sistem yang sengaja dibangun untuk tetap mengkritik sistem perekonomian yang berlangsung.

LETS lebih dari pada sebagai suatu sistem alternatif, Linton melihat LETS sebagai suatu sitem ekonomi yang dapat berjalan secara pararel dengan sistem yang ada, sebagai perumpamaan sistem tersebut ibarat sebuah tuas yang digunakan untuk memindahkan rel kereta api, dimana merubah arah tujuan dari perekonomian yang ada. Memahami pengertian mekanisme pasar tersebut sangat baik dan efesien, dimana hal tersebut juga memperkenalkan sistem gotong-royong di dalam suatu pasar yang merupakan salah satu aktivitas perekonomian. Diperkirakan sistem mata uang LETS telah berjumlah 1600 LETS di dunia, ada lebih dari 1500 sistem mata uang lokal yang berorientasi pada sistem LETS, jika pun tidak menerapkan dengan sistem tersebut paling tidak prinsip-prinsip yang digunakan mengacu padanya.

Dalam rancangan LETS , Linton memisahkan aturan yang berbeda antara uang (sebagaimana yang kita kenal) sebagai suatu nilai yang tersimpan dan uang sebagai sebuah media pertukaran. Dia melihat uang sebagai sebuah sistem informasi untung pencatatan usaha manusia dan Dia pun tidak melihat perbedaan antara uang sebagai sarana pertukaran dengan uang sebagai media perhitungan (seperti inci dalam perhitungan panjang sepotong kayu). Sebagai sebuah perumpamaan yaitu pada seseorang yang sedang membangun sebuah rumah, dimana pada saat itu ia tidak dapat memperoleh kayu untuk membangun rumahnya karena tidak ada inchi (satuan ukuran panjang), walupun sumber daya manusia dan bahan-bahan pendukung membuat rumah sudah tersedia. Demikian pula dengan uang, mengapa kita tidak dapat berbuat sesuatu karena uang tidak cukup, walaupun sumber daya alam dan manusia tersedia. Uang, kemudian menjadi suatu informasi yang sederhana dan uang dibutuhkan tidak hanya mewakili suatu nilai .

Jika uang merupakan suatu informasi sederhana, maka kebutuhanya tidak akan pernah menjadi kurang. Itu bukan berarti bahwa persediaannya tidak terbatas , tentunya dibatasi oleh berbagai hal yang ada. Namun pun demikian, uang selalu ada jika dibutuhkan. Mengenai pertanggung jawaban dalam mempertahankan nilai uang diberikan kepada seseorang yang menerbitkannya. Jadi, mata uang LETS adalah sebagai "uang pribadi" .

Agar persediaan uang dan perekonomian tetap stabil, maka uang harus berada dalam lingkungan setempat. Karena mata uang dicetak dengan menggunakan nama samaran dengan demikian dapat beredar dimanapun. Linton merasa pendekatan yang lebih baik jika melindungi uang di masyarakat melalui suatu sistem keuangan dan mata uang melalui proses komputer. LETS sebagai sistem pencatatan transaksi dan penyimpanan data keuangan sangat sederhana, dimana LETS tidak mengeluarkan mata uang atau mengawasi peredarannya. Linton merancang sistem tersebut dengan bebas bunga. Dengan demikian seluruh anggata memiliki tanggung jawab terhadap sistem yang digunakannya.
Mata Uang Kota Toronto, Canada, 1999.


Realitas dilapangan mata uang LETS selalu memiliki persedian uang yang cukup bagi masyarakat anggotanya, dimana uang dicetak dan didistribusikan pada suatu wilayah oleh anggotanya dengan tidak menerapkan sistem bunga . Suatu kesempurnan dimana lazimnya uang di masyarakat selalu mengalami kekurangan .


Sistem Mata Uang Masyarakat di Sebagian Dunia Ketiga
Mata Uang Alternatif di Argentina, 2000.


Beberapa proyek mata uang masyarakat hingga kini sedang berlangsung di negara-negara seperti Meksiko, El Savador , Peru , Chile, Argentina, Brazil, Senegal , Thailand, Indonesia dan di beberapa negara lain di belahan dunia (negara-negara ketiga) . Banyak masyarakat menghidupkan kembali sistem perekonomian tradisionalnya , sistem yang memelihara gotong royong dan kekeluargaan didalam lingkungannya.

Secara umum kita dapat mengatakan tentang Sistem Mata uang masyarakat sebagai berikut :
Mata uang diterbitkan dengan aman dan cepat. Untuk sebagian besar sistem mata uang masyarakat, mata uang disebarkan kepada seluruh pihak-pihak yang berkepentingan, seperti pada bank–bank maupun koperasi kredit. Dimana penarikan uang dicatat pada lembaran buku besar. Karena jumlah keseluruhan pada perhitungan neraca selalu sama ( Kredit – Debet = 0 ) atau ( Kredit + Uang tunai – debet = 0 ) perhitungannya sangat sederhana dan cepat . Pemerintah tidak menerbitkan mata uang , lebih baik jika para anggota masyakat yang menerbitkan mata uang mereka sendiri, sehingga sistem hanya mencatat kegiatannya. Di beberapa sistem, mata uang hanya diterbitkan sebelum ( in case of printed currency systems ) atau pada saat dibuat.( in case of ledger – based system with invisible currency ). Hanya sedikit sistem yang menengahkan istilah Sistem "local Currency", Penyebaran issu hanya terbatas pada kalangan anggota yang menerapkannya saja. Sistem tersebut khususnya hampir terbatas untuk negara Amerika Utara.
Mata Uang Kota Meksiko, 1999.

Mata uang beredar terbatas hanya didalam suatu wilayah tertentu. Begitu juga untuk melayani masyarakat , peredaran mata uang hanya didalam suatu wilayah geographi yang ditentukan oleh para anggota pemegang saham. Hal yang kurang disukai dari sistem ini adalah karena mata uang tidak dapat diterima diluar wilayah dimana sistem itu diterapkan, hal ini mengingat mata uang hanya dapat dibelanjakan didalam wilayah dimana uang tersebut diterima. Tidak seperti hal-nya mata uang nasional yang dapat beredar keluar wilayah, mata uang masyarakat hanya beredar didalam wilayahnya, yang juga berkonsekuensi terhadap peningkatan nilai uang nasional didalam masyarakat.
Mata Uang Kota Dakar, Senegal, Afrika, 1998.

Mata uang masyarakat bukan bertujuan untuk menegasikan mata uang nasional. Mata uang masyarakat memiliki nilai yang sama dengan mata uang nasional di suatu lokasi. Dimana pada saat implementasi penggunaannya mata uang masyarakat di jalankan bersamaan dengan mata uang nasional, atau disebut juga mata uang paralel. Kehadiran mata uang nasional bertujuan juga untuk mempertahankan stabilitas nilai barang, dimana nilai barang akan akan tetap dengan kehadiran mata uang masyarakat, selain itu juga diharapkan mempermudah masyarakat dalam melakukan transaksi, karena tidak memiliki permasalahan atas kekurangan jumlah atal tukar. Penggunaan mata uang masyarakat hanya dikhususkan untuk berlaku di wilayah dimana mata uang tersebut beredar, sedangkan bedanya dengan mata uang nasional, penggunananya dapt dipakai dimanapun kita berada sesuai dengan kebutuhan yang ingin kita miliki (beli). Penerapan paralel dari mata uang nasional dan mata uang nasionala ditujukan pada produk-produk yang dihasilkan di wilayah setempat. Sedangkan pemutusan nilai dari mata uang masyarakat itu sendiri diserahkan kepada kesepakatan bersama masyarakat yaitu antara konsumen dan produsen. Untuk mata uang nasional, dapat digunakan untuk pembelian barang-barang yang diproduksi dari luar, sehingga untuk barang-barang produksi luar dengan penggunaan mata uang nasional akan lebih mudah terjangkau, dilain sisi juga masyarakat dapat menggunakan saving mata uang nasional untuk keperluan lainnya seperti membayar hutang.
Mata Uang Desa Kud Chum, Yasothon, Thailand, 2000.

Sistem mata uang masyarakat scara resmi telah beredar di lebih dari 35 negara-negara di dunia. Beberapa Sistem mata uang yang sedang beroperasi di negara-negara yang tergabung dalam NAFTA, G7, maupun EEC, sebaik penerapan yang dilakukan di negara-negara seperti Jepang, Australia, New Zealand, Senegal, Thailand, Peru , Equador, Colombia, Uruguay, Chile, Argentina dan Brazil. Di bebarapa tempat penerapan sistem mata uang masyarakat tersebut diatas juga didukung oleh pemerintah setempat.

Mata Uang Alternatif Jepang, 1998 (Selama Krismon).


Sebagai contoh , di tahun 1998, Pemerintah negara Jepang menerbitkan 750,000,000 US Dollars untuk menanggulangi defisit sementara mata uang-nya, terkait dengan upaya pemulihan ekonominya pemerintah menganjurkan untuk tetap melakukan aktivitas transaksi. Pemerintah daerah didorong untuk mendisain maupun memproduksi diwilayah masing-masing sesuai dengan kebutuhan dan sumber daya diwilayahnya. Meskipun rancangan dari sistem ini berbeda dari type sistem mata uang masyarakat yang telah kita bicarakan sebelumnya . Hal itu juga menunjukan bahkan negara terkaya di duniapun sekalipun suatu saat membutuhkan tumpuan mata uang pararel.

Contoh lain, di negara Australia para penerima bantuan sosial diijinkan untuk menambah penghasikan dalam mata uang masyarakat dengan tidak mengurangi keuntungan yang mereka peroleh, mendorong masyarakat berupa bantuan sosial dalam rangka peningkatan kapasitas kerja mereka. Pemerintah Tlaxcala di Meksiko secara aktif mepromosikan Sistem mata uang masyarakat di negaranya. Pemerintah kota Curitiba-Brazil dan Buenos Aires- Argentina juga mendukung penggunaan mata uang masyarakat untuk menghadapi masalah kejahatan, masalah penganguran, masalah perbaikan lingkungan dan daur ulang . Tidak satupun dari sistem ini dianggap sebagai ancaman bagi stabilitas keuangan nasional.

Pada kenyataanya , Banyaknya politikus menyetujui banyaknya keuntungan dari sistem mata uang masyarakat yang ditawarkan untuk masyarakat dan perekonomian nasional. Ahli ekonomi dari Amerika bernama Lewis solomon dalam bukunya berjudul " Rethinking Our Centralized Money Sistem " menganjurkan agar jaringan sistem mata uang masyarakat didirikan diseluruh negara bagian Amerika Serikat. Dengan jelas, jika negara – negara kaya di dunia menyetujui untuk mendirikan sistem tersebut tentunya diikuti pula dengan pemerintah negara disekitarnya .


Sistem mata uang masyarakat melindungi perekonomian nasional dari penerapan sistem pasar bebas. Beberapa proteksi yang dilakukan oleh negara-negara di seluruh dunia telah tidak ada. Sedikitnya, mungkin hanya negara Jepang yang masih mampu mempertahankan proteksi perdagangan bagi rakyatnya, dengan cara melindungi pasar mereka dari perusakan dan eksploitasi ekonomi dari luar. Namun apakah ada pertentangan atas keuntungan yang terjadi dari jaringan perdagangan berbasis masyarakat. Sistem ini tidak memiliki perbedaan dengan Sistem tanpa bunga dari per-Bank-an Islam, atau Program pinjaman kecil masyarakat, karena sistem tersebut tidak melarang pertukaran dengan para pedagang asing. Sama halnya dengan mata uang masyarakat. Namun pengunaan dari mata uang masyarakat , memberikan keuntungan yaitu sebagai pelapis yang melindungi dari badai krisis ekonomi yang menembus seluruh negara. Dengan sistem mata uang masyarakat, akan mendorong masyarakat untuk tetap bertahan dalam krisis maupun ketidakstabilan perekonomian nasional seperti yang dialami negara-negara seperti Meksiko (1995), Asia (1997) , Brazil (1998) dan seterusnya.
VALIDITAS

Alat ukur yang memenuhi standar kevalidan menjamin bahwa
alat tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Oleh karena
itu, sebelum digunakan alat ukur sebaiknya diuji validitas dan
reliabilitasnya.

Atkin, Black, & cofey (2001) mengatakan bahwa kesahihan memiliki banyak dimensi, termasuk tiga yang akan dibahas di sini, yakni kesahihan isi (content validity), kesahihan konstruk (construct validity), dan kesahihan instruksional (instructional validity).
Kesahihan isi mengacu pada tingkatan dimana suatu peniliti mampu mengukur area isi yang diharapkan. Kesahihan konstruk mengacu pada tingkatan dimana penilaian mengukur konstruk teori atau kemampuan yang diharapkan. Terakhir, suatu penilaian menggambarkan kesahihan instruksional, apabila materi atau isi sepadan dengan apa yang benar-benar diajarkan.
A. Ciri Umum Validitas
Para ahli psikometri telah menetapkan kriteria bagi suatu alat ukur psikologis untuk dapat dinyatakan sebagai alat ukur baik dan mampu memberikan informasi yang sesuai dengan diadakannya suatu pengukuran. Kriteria itu antara lain adalah valid dan reliabel. Sifat valid dan reliabel diperlihatkan oleh tingginya reliabilitas dan validitas hasil ukur suatu tes. Suatu alat ukur yang tidak reliabel atau tidak valid akan memberikan informasi yang keliru mengenai keadaan subjek atau individu yang dikenai tes itu.
Validitas didefinisikan sebagai ukuran seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fungsi ukurnya. Misalnya, tes hanya dapat dilakukan fungsinya dengan cermat kalau ada "sesuatu" yang diukurnya. Jadi, untuk dikatakan valid, tes harus mengukur sesuatu dan melakukannya dengan cermat (Mardapi, 2004). Penekanan definisi tersebut terletak pada seberapa cermat suatu alat ukur melakukan fingsi ukurnya, sehinngga memberikan hasil ukur sesuai dengan yang hendak diukur.
Sifat valid memberikan pengertian bahwa alat ukur yang digunakan mampu memberikan nilai yang sesungguhnya dari apa yang kita inginkan. Jika pada suatu kesempatan kita ingin memperoleh tinggi suatu meja, penggaris merupakan alat ukur yang valid, karena dengan alat ini kita akan dapatkan berapa centimeter tinggi meja tersebut. Meteran gulung juga alat yang valid. Selain itu, pengukuran dengan jengkal tangan juga merupakan cara yang bisa dilakukan. Namun tidak demikian halnya jika kita gunakan termometer badan.
Lebih lanjut, pengertian validitas suatu tes tidaklah berlaku umum untuk semua tujuan ukur. Sebuah tes biasanya hanya menghasilkan ukuran yang valid untuk satu tujuan ukur tertentu. Karena itu, predikat valid seperti dalam pernyataan "Tes ini valid" tidaklah benar. Pernyataan valid harus diiringi oleh keterangan yang menunjuk kepada tujuan, yaitu valid untuk mengukur apa. Lebih lanjut, valid bagi siapa. Karena itu, suatu tes yang sangat valid guna pengambilan suatu keputusan sangat tidak berguna dalam pengambilan keputusan lain.
Jadi, validitas di dalam pandangannya adalah suatu property yang sangat penting dan berguna dibandingkan penilaian yang nyata. Messick (Atkin, Black, & Cofey, 2001) menekankan pada penggunaan dari validitas pada pentingnya mempertimbangkan konsekuensi sosial: "Validitas tes dan nilai sosial terjalin dan bahwa konsekuensi dari evaluasi yang disengaja dan yang tidak disengaja pada beberapa ujian terintegrasi dengan pengesahan-pengesahan tes, penafsiran dan penggunaan". Dia memberi alasan bahwa validitas memerlukan pengajaran mengenai sesuatu yang jelas, termasuk di dalamnya bukti dari apa yang terjadi sehagai hasilnya. Moss (Atkin, Black, & Cofey, 2001) menghimbau bahwa tindakan-tindakan konsekuensi-konsekuensi dari tindakan-tindakan tersebut diperlukan sebagai bukti untuk menjamin kebenaran.
B. Jenis Validitas
Tergantung pada pendekatannya, validitas dapat dibagi menurut berbagai tipe. Berikut ini akan disajikan jenis-jenis validitas menurut yang ditetapkan oleh American Psycological Association, yaitu content validity, construct validity dan criterion-related validity.
1. Content Validity
Content validity (validitas isi) suatu tes harus menjawab pertanyaan "sejauh mana butir-butir tes itu mencakup keseluruhan kawasan yang ingin diukur oleh tes tersebut". Sejauh mana suatu tes memiliki content validity ditetapkan menurut analisis rasional terhadap isi tes, yang penilaiannya didasarkan atas pertimbangan subyektif individual. Prosedur validasinya tidak melibatkan perhitungan statistik apapun. Terdapat dua macam tipe content validity, yaitu face validity dan logical validity.
Face Validity tercapai apabila pemeriksaan terhadap item-item tes memberi kesimpulan bahwa tes tersebut mengukur aspek yang relevan. Dasar penyimpulannya lebih banyak diletakkan pada common sense atau akal sehat.
Logical validity disebut juga sampling validity. Tipe validitas ini menuntut batasan yang seksama terhadap kawasan (domain) perilaku yang diukur dan suatu desain logis yang dapat mencakup bagian¬-bagian kawasan perilaku tersebut. Sejauh mana tipe validitas ini telah terpenuhi dapat dilihat dari cakupan butir-butir yang ada dalam tes. Apakah keseluruhan butir tersebut telah merupakan sampel yang representative bagi seluruh butir yang mungkin dibuat, ataukah butir tersebut berisi hal-hal yang kurang relevan dan meninggalkan hal-hal yang seharusnya menjadi isi tes.
2. Construct Validity
Construct validity (validitas konstruk) menunjukkan sejauh mana suatu tes mengukur konstruk teori yang menjadi dasar penyusunan tes itu. Pengukuran validitas konstruk merupakan proses yang terus berlanjut sejalan dengan perkembangan konsep mengenai trait (sifat) yang diukur. Diantara metode yang sering digunakan adalah metode multitrait-multimethod dan analisis faktor.
Campbell dan Fiske (1959) rnengembangkan satu pendekatan untuk menguji validitas konstruk yang disebut multitrait-multimethod. Validasi dengan multitrait-multimethod digunakan dengan menggunakan lebih dari satu macam metode untuk mengukur lebih dari satu macam trait. Suatu contoh perhitungan validitas dengan pendekatan ini dikemukakan oleh Alen dan Yen (Azwar, 2005) dengan mengandaikan adanya dua trait, yaitu sifat Introversi dan Neurotisme, yang masing-masing diungkap oleh dua macam metode, yaitu pertama metode jawaban ya-tidak (YT) dan kedua metode pilihan ganda (PG). Dalam contoh ini, terdapat 4 macam tes. Hasil pelaksanaan keempat macam tes tersebut pada sekelompok siswa yang sama kemudian dikorelasikan satu sama lain dan koefisien-koefisien korelasinya dimasukkan dalam suatu matriks validasi (perhatikan Tabel 10.1).
Tabel 10.1.
Matriks validasi dengan pendekatan multitrait-multimethod
Intoversi YT Neurotisme YT Introversi PG Neurotisme PG
Intoversi YT (0.80) 0.25 0.78 0.19
Neurotisme YT (0.85) 0.16 0.72
Introversi PG (0.87) 0.24
Neurotisme PG (0.92)

Pada matriks validasi Tabel 10.1 di atas, koefisien korelasi antara skor tes dengan dirinya sendiri tidak dicantumkan (r = 1), tetapi digantikan oleh koefisien reliabilitasnya. Sebagai contoh, koefisien reliabilitas atas skala introversi yang menggunakan metode YT adalah 0.8 dan dalam matriks diletakkan dalam tanda kurung. Dasar pemikiran dalam validasi dengan pendekatan ini adalah adanya validitas yang baik diperlihatkan oleh korelasi yang tinggi antara dua pengukuran terhadap trait yang sama oleh dua metode yang berbeda, atau korelasi yang rendah antara dua pengukuran terhadap trait yang berbeda walaupun menggunakan metode yang serupa. Pada Tabel 10.1, dapat juga dijelaskan bahwa skala-skala tersebut menunjukkan hasil ukur yang memiliki validitas konstruk yang baik. Perhatikan bahwa skala introversi YT dan skala introversi PG berkorelasi 0.78; skala neurotisme YT dan neurotisme PG berkorelasi sebesar 0.72.
Tampak juga pada Tabel 10.1, bahwa korelasi masing-masing skala yang mengukur trait yang berbeda, kesemuanya rendah. Dalam istilah validitas, skala-skala tersebut memperlihatkan adanya validitas konvergen dan validitas diskriminan. Validitas konvergen ditunjukkan oleh tingginya korelasi antara skor skala-skala yang mengukur trait yang sama. Sedangkan validitas diskriminan ditunjukkan rendahnya oleh korelasi antara skor skala-skala yang mengukur trait yang berbeda. Pada contoh tersebut, validitas konvergen dan daya beda (diskriminant validity) termasuk dalam kategori baik.
Prosedur analisis faktor yang dapat digunakan tergantung pada konstruk teori yang dibangun. Jika seorang pembuat instrumen (tes atau nontes) merasa konstruk teoritis yang dibangun sudah mapan, maka analisis faktor yang digunakan adalah analisis faktor konfirmatori, tujuannya untuk mengkonfirmasi apakah teori yang dibangun untuk menyusun instrumen tersebut sesuai dengan data empirik atau tidak. Analisis faktor konfirmatori pada buku ini tidak akan dijelaskan, cukup diketahui gambaran umumnya saja. Kemudian, jika pembuat instrumen merasa konstruk teoritisnya masih belum mapan, sehingga faktor-faktor yang membangun instrumen tersebut belum teridentifikasi dengan jelas, maka prosedur analisis faktor yang digunakan adalah analisis faktor eksploratori. Pembuktian validitas konstruk dilakukan dengan menggunakan analisis faktor eksploratori. Sehubungan dengan itu, analisis faktor eksploratori digunakan untuk mengungkap trait (sifat) atau konstruk teoritis yang hendak diukur. Dalam arti, untuk megetahui apakah butir-butir yang telah disusun mengukur faktor-faktor yang membangun instrumen tersebut. Field (2000), memberikan beberapa prosedur analisis faktor eksploratori khususnya dengan program aplikasi SPSS, yaitu:
a. metode yang digunakan untuk melakukan analisis faktor eksploratori adalah maximum likelihood.
b. metode rotasi yang digunakan adalah varimax
c. mengukur kesesuaian sampling dengan melihat KMO (Kaiser- Meyer-Olkin). Jika nilai KMO > 0,5, maka sampling yang digunakan dalam uji coba instrumen sesuai.
d. Bartlett's tes of sphericity, untuk mengukur apakah setiap butir berkorelasi rendah (menuju nol) dengan butir yang lainnya, dalam arti bahwa butir-butir yang disusun saling independen. Untuk keperluan ini, digunakan signifikansi a = 0.05 dan membandingkan dengan signifikansi hasil perhitungan (sig.). Jika nilai signifikansi a = 0.05 lebih besar dari nilai signifikansi hasil perhitungan, maka setiap butir memiliki korelasi yang rendah.
e. Melihat multikolinieritas. Jika determinan > 0,00001, maka butir-butir berkorelasi rendah (< 0,8). Itu berarti bahwa, butir- butir tersebut memiliki multikolinieritas yang rendah. Dalam arti butir-butir tersebut mengukur faktor yang berbeda.
f. Muatan faktor setelah extraction yang digunakan > 0,3. Jika nilai muatan faktor > 0,3, maka butir tersebut dapat digunakan untuk mengukur faktornya.
3. Criterion-related Validity
Criterion-related validity terbagi dalam dua kategori, yaitu validitas prediktif dan validitas kongkuren. Penjelasan masing-masing validitas tersebut dapat diketahui melalui uraian berikut.
a. Validitas Prediktif
Validasi tes berdasarkan kriteria, umumnya tes yang akan diuji validitasnya disebut prediktor. Statistik yang diperlukan untuk pengujian validitas ini adalah koefisien korelasi antara skor tes sebagai prediktor dan skor suatu kriteria. Mardapi (2004) mengatakan bahwa prosedur guna mencapai criterion-related validity menghendaki adanya kriteria eksternal yang dapat dihubungkan dengan skor tes yang diuji validitasnya. Kriteria dalam hal ini adalah variable perilaku yang akan diprediksi oleh skor tes. koefisien korelasi antara skor tes (X) dengan kriteria (Y) merupakan koefisien validitas yang menunjukkan kekuatan validitas prediktif suatu tes.
Bagaimana efek restriksi sebaran in terhadap koefisien validitas? Bila skor prediktor adalah X dan skor kriteria adalah Y, maka korelasi antara X dan Y adalah rxy yang merupakan koefisien validitas predikti I tes X. Hubungan antara rxy dan kesalahan standard estimasi (standar error of estimate) dilukiskan sebagai:

Keterangan :
Syx = kesalahan standard estimasi X terhadap Y, yaitu deviasi stan¬dard distribusi Y untuk harga X tertentu
sy = Deviasi standard skor kriteria Y (distribusi marginal)
Yxy = Koefisien korelasi antara prediktor X dan kriteria Y.
Dengan asumsi homoscedasticity, maka harga s2y akan mengecil akibat restriksi sistemmatis yang terjadi, sedangkan harga s2yx tidak terpengaruh. Karena itu komponen s2Y.x/s2Y akan membesar dan r2xY akan mengecil. Jadi koefisien validitas rXY menjadi rendah. Secara umum dapat dikatakan bahwa restriksi sebaran yang menjadikan variasi skor murni prediktor mengecil akan menghasilkan underestimasi terhadap koefisien validitas yang sesungguhnya. Tabel 10.2 di bawah, menyajikan contoh perhitungan validitas prediktif, tes A yang digunakan untuk seleksi dalam penerimaan operator komputer.
Tabel 10.2
Ilustrasi pengujian Validitas Prediktif
Nama subjek yang diterima Skor
Tes Masuk (X) Hasil rating asesor setelah bekerja (Y)
Ana 112 9
Ani 107 9
Anu 98 7
Ane 99 4
Bani 112 10
Banu 105 9
Bana 107 8
Bane 100 7
Buna 105 7
Bini 110 9
Korelasi antara skor tes A dengan skor kriteria, rxy =0.81

Tampak pada Tabel 10.2, besarnya korelasi antara skor masuk tes A (X) dengan skor rating asesor (Y) adalah rXY = 0.81. Ini menunjukkan bahwa tes A memiliki validitas prediktif yang baik. Selanjutnya, dapat dihitung kesalahan standar estimasi skor X terhadap skor Y, dengan terlebih dahulu menghitung standar deviasi skor kriteria, sY = 1.73. Subtitusikan nilai rXY dan s pada persamaanm sY.X = Sy - r2xY, maka diperoleh
sY.X = (1.73) Ail — (0.81)2
= 1.0145
Jadi kesalahan standar estimasi sebesar 1.0145. Angka ini menunjukkan bahwa kesalahan standar estimasi masih tergolong dapat ditolerir.
b. Validitas Konkuren
Pada dasarnya, dalam menyusun dan mengembangkan instrumen psikologi, pengujian validitas suatu instrumen dalam menjalankan fungsi ukurnya seingkali dapat dilakukan dengan melihat sejauhmana kesesuaian antara hasil ukur instrumen tersebut dengan hasil ukur instrumen lain yang sudah teruji kualitasnya atau dengan ukuran¬ukuran yang dianggap dapat menggambarkan aspek yang diukur tersebut secara reliabel. Dalam kasus seperti ini, instrumen yang telah teruji validitasnya atau ukuran yang dianggap tepat berlaku sebagai kriteria validasi.
Untuk memperjelas konsep perhitungan validitas kongkuren, misalnya kita ingin menguji validitas konkuren instrumen sikap terhadap mata pelajaran matematika yang disusun oleh lembaga tertentu (kita sebut tes X). Sebagai kriterianya, kita ambil instrumen sikap terhadap matematika (The Attitudes Toward Mathematics Inventory - ATMI) yang dikembangkan oleh McLeod (1992) yang telah teruji validitasnya (kita sebut tes Y). Kedua instrumen tersebut diujikan pada sekelompok siswa (misalnya 10 orang siswa), dengan skor masing-masing}; seperti pada tabel 10.4.
Tabel 10.4
Ilustrasi pengujian Validitas Konkuren
Nama subjek Skor Tes X Skor Tes Y
Asma 78 64
Asmi 76 62
Asmu 68 56
Rina 42 40
Rini 58 62
Rani 70 64
Rona 56 62
Siska 64 48
Budi 54 48
Bulkis 46 38
Korelasi antara skor tes X dengan skor tes Y, rxy = 0.86

Tampak pada tabel 10.4, hasil perhitungan atas data fiktif untuk kedua tes X dan tes Y, diperoleh korelasi antara tes X dan tes Y sebagai kriteria, yaitu rxY = 0.86. Angka 0.86 merupakan koefisien validitas tes X. Azwar (2004) menyatakan bahwa ada perbedaan antara validitas prediktif dengan validitas konkuren, yaitu pertama, waktu pengambilan data, pada validitas prediktif, data yang dijadikan sebagai kriteria diperoleh setelah tenggang waktu tertentu sedangkan data validasi konkuren diperoleh bersama dengan data prediktornya. Kedua, fungsi dari kriterianya, pada validasi prediktif, kriterianya merupakan variabel perilaku yang hendak diprediksikan oleh tes sedangkan pada validasi konkuren kriterianya merupakan ukuran kesesuaian fungsi ukur tes yang bersangkutan.
C. Pendekatan Internal Consistency dalam Validasi Butir
Telah kita ketahui bahwa, validitas prediktif dan konkuren, kriteria yang digunakan adalah skor tes atau skor pengukuran lain yang disebut kriteria eksternal. Dalam prosedur seleksi butir pada suatu tes prestasi, berbagai skala sikap dan tes kemampuan lain, umumnya butir-butir dipilih menurut daya diskriminasinya. Daya diskriminasi ini diperlihatkan oleh indeks atau koefisien yang dihitung menurut formula tertentu. Untuk menguji signifikasi daya beda ini, maka dapat digunakan formula
Dimana :
tt = Nilai t sebagai indeks diskriminasi butir ke-i.

XiA = Rata-rata distribusi skor kelompok "atas", yang biasanya diambil dari 25% subjek yang mempunyai skor total tertinggi, untuk butir ke-i.
XiA = Rata-rata skor subjek kelompok "bawah" untuk butir i. Varians skor subjek kelompok "atas" untuk butir i.
S2iA = Varians skor subjek kelompok "bawah" untuk butir i.
nA = Jumlah subjek kelompok "atas".
nB = Jumlah subjek kelompok "bawah".
Nilai ti yang diperoleh kemudian dibandingkan pada tabel nilai kritis t dengan derajat kebebasan (db) = nA + nB - 2. Kriteria suatu butir dikatakan baik jika nilai mutlak ti lebih besar dari nilai kritis t pada taraf sign ifikansi yang dipilih dengan derajat kebebabasan (db), artinya
Jika ti >ttabel maka butir i memiliki daya beda yang baik atau
Jika ti ≤ttabel maka butir i memiliki daya beda yang kurang baik.
Jika seandainya jumlah subjek pada masing-masing kelompok "atas" dan kelompok "bawah" lebih 25 orang, maka t, 1.75 dapat dianggap sebagai batas minimal indeks diskriminasi yang seharusnya (Mardapi, 2004).
Bila butir tes diberi skor dikotomi, yaitu 0 atau 1, maka teknik
korelasi yang digunakan adalah teknik korelasi point biserial (rpbis),
Xt-Xt√p
st q
X. Mean skor subjek yang mendapat nilai 1 pada butir i.
Xt = Mean skor seluruh subjek
st = Deviasi standar skor seluruh subjek.
p =Proporsi subjek yang mendapat nilai 1 pada butir. Bila N
adalah jumlah seluruh subjek, maka p adalah jumlah subjek yang mendapat skor 1 pada butir I dibagi oleh N.
q = 1-p
Kalau skor butir bukan dikotomi, tetapi dapat dianggap berskala interval, maka teknik korelasi product moment dapat digunakan. Untu k koreksi akibat terikutnya skor butir kedalam skor total, kemudian dilakukan koreksi yang disebut the correction of Gulir rohrl (orrelaliou .for spurious overlap (Guilford, 1956).
V62X F6~1-2rxix6r6x
Dimana :
rx1x =Koefisien korelasi antara butir dengan total atau antara
subtest dengan total
Q,i = Deviasi standar skor butir atau skor subtes
QX = Deviasi standar skor total
Koefisien korelasi antara butir dan skor total merupakan indeks validitas butir dalam arti kesesuaian butir dengan skor total dalam membedakan subjek yang mendapat skor tinggi dan yang mendapat skor rendah. Koefisien korelasi yang relatif tinggi tentu merupakan indikator kualitas butir yang diinginkan. Apalagi kalau sebagian besar butir dalam test mempunyai korelasi tinggi dengan skor total, hal demikian dapat pula dianggap sebagai homogenitas butir.
PENILAIAN KELAS

Penilaian kelas dilaksanakan secara terpadu dengan kegiatan pembelajaran. Penilaian dapat dilakukan baik dalam suasana formal maupun informal, di dalam kelas, di luar kelas, terintegrasi dalam kegiatan belajar mengajar atau dilakukan pada waktu yang khusus. Penilaian dalam kelas dilaksanakan melalui berbagai cara, seperti tes tertulis (paper and pencil test), penilaian hasil kerja siswa melalui kumpulan hasil kerja (karya) siswa (portofolio), penilaian produk 3 dimensi, dan penilaian, unjuk kerja (performance) siswa (Depdiknas, 2004).
Hein dan Price (1994) menyatakan bahwa, apapun yang dikerjakan seseorang siswa dalam kelas dapat digunakan untuk objek penilaian. Ini berarti bahwa penilaian dapat terjadi pada setiap waktu.
Berdasarkan tujuan, maka penilaian kelas terbagi ke dalam tiga kategori yaitu penilaian formatif (formative assessment), penilaian sumatif (assessment of learning), dan penilaian untuk belajar (assessment for learning). Penjelasan masing-masing penilaian tersebut dapat dielaorasi dalam bagian berikut.
A. Penilaian Formatif
Penilaian formatif merupakan penilaian yang menyediakan informasi kepada siswa dan guru untuk digunakan dalam memperbaiki kegiatan belajar dan mengajar. Hal ini sering dilaksanakan secara informal dan berkelanjutan, meski mereka tidak menyadarinya. Data dari penilaian-penilaian sumatif dapat digunakan dalam langkah formatif (Aktin, Black, & Coffey, 2000).
Penilaian formatif yang dirancang secara terencana, terarah, dan terstruktur sebagai bagian dari pembelajaran, maka dapat menciptakan pembelajaran yang efektif dan efisien. Dalam kaitan dengan hal tersebut, Aktin, Black, & Coffey, (2000) memberikan ciri-ciri penilaian formatif dalam bentuk pertanyaan berikut.
- Kemana tujuan anda ?
- Dimana anda sekarang ?
- Apa yang anda lakukan untuk mencapai tujuan tersebut ?
Kemana Tujuan Anda
Untuk menjawab pertanyaan ini, seorang guru yang baik, yaitu guru yang komitmen untuk membantu siswa memahami pelajaran yang diampu, hendaknya melakukan persiapan yang matang sebelum memulai pembelajaran. Persiapan yang dimaksud diantaranya menetapkan tujuan pembelajaran dan kriteria penilaian dengan jelas. Untuk itu, jawaban terhadap pertanyaan tersebut terletak pada penetapan tujuan dan kriteria penilaian dengan jelas dan harus diinformasikan kepada siswa pada awal pembelajaran.
Dimana Anda Sekarang ?
Setelah mereka (siswa) dengan jelas telah mengetahui ke mana mereka ingin pergi, para guru dan para siswa perlu untuk mengetahui di mana para siswa saat ini berdiri dalam hubungannya dengan hasil yang akan dicapai.
Variasi itu perlu
Bertanya
Periksa Pekerjaan Siswa
Bentuk Padanan Tujuan
Stiggins (2001) menyarankan kepada para guru untuk memperhatikan hal-hal berikut dalam merencanakan penilaian-penilaian dalam kelas, dimana kelima hal tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Kelima hal tersebut adalah:
1. Penguasaan isi pengetahuan, di mana penguasaan dalam hal ini termasuk mengetahui dan mengerti,
2. Penggunaan pengetahuan untuk memberi alasan dan memecahkan permasalahan,
3. Pengembangan keterampilan,
4. Pengembangan kemampuan untuk menciptakan produk-produk tertentu yang memenuhi kualitas standar, dan
5. Pengembangan tentang pentingnya pengaturan atau penempatan.
Satu hal yang sangat perlu dalam pelaksanaan penilaian adalah bagaimana seorang guru mampu memperoleh informasi tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki siswa pada pelajaran yang diampunya.
Bagaimana Anda Bisa ke Sana ?
Penilaian Sebaiknya Konsisten Dengan Pengajaran
Penggunaan Data Penilaian
Manajemen Data Penilaian
B. Penilaian Sumatif
Anderson (2003) menyatakan bahwa penilaian adalah proses dari pengumpulan informasi guna membuat keputusan. Popham (1995: 3) mempertegas, bahwa ‘Educational assessment is a formal attempt to determine students’ status with respect to educational variables of interest’. Penilaian juga memiliki terminologi khusus guna mendeskripsikan sekalian aktivitas yang dikerjakan oleh pengajar untuk mendapatkan informasi tentang pengetahuan, keterampilan dan sikap dari para pembelajar. Pengumpulan data melalui penilaian formal (tes objektif) dan data informasi (observasi atau daftar isian) termasuk aktivitas penilaian ini (Marsh, 1996).
Huba dan Freed (2000) mendefinisikan penilaian sebagai proses dari pengumpulan dan pengujian informasi untuk meningkatkan kejelasan pengertian tentang apa yang sudah dipelajari oleh pembelajar dari pengalaman-pengalamannya.
Penilaian sumatif (assessment of learning) merupakan jenis penilaian yang orientasinya adalah pengumpulan informasi tentang pembelajaran yang dilakukan pada rentang waktu tertentu atau pada akhir suatu unit pelajaran. Penilaian seperti ini misalnya ujian kenaikan kelas, ujian sekolah, ujian nasional, maupun ujian bertaraf internasional seperti PISA dan TIMSS.
Penilaian sumatif (assessment of learning) dilakukan pada akhir semester atau unit instruksional untuk menilai kualitas dan kuantitas akhir pencapaian belajar siswa atau kesuksesan dari program instruksional (Weeden, Winter, & Broadfoot: 2002).
C. Penilaian untuk Belajar (PuB)
Penilaian untuk belajar (akan dibahas lebih rinci pada bab berikutnya) merupakan model penilaian yang lebih memihak pada membantu siswa untuk lebih memahami dan menguasai materi pelajaran yang diberikan, dengan memberi kesempatan kepada mereka untuk lebih bertanggung jawab terhadap belajar mereka sendiri.
D. Prinsip Keadilan dalam Penilaian
Keadilan bukan lagi menjadi isu ketika hasil penilaian digunakan untuk memberi label atau pekerjaan pada siswa. Oleh sebab itu, perlu kiranya menilai siswa secara komperehensip dari hasil pekerjaan mereka mulai dari kemampuan menulis, familiaritas dengan konteks masalah, membaca secara menyeluruh.
Isu keadilan sudah saatnya untuk diperjuangkan dan seyogyanya harus muncul pada semua tingkatan dari sistem pendidikan kita dan di dalam semua komponen setiap program.
E. Orientasi Penilaian Kelas
Berdasarkan uraian dan penjelasan diatas, maka tampak bahwa penilaian kelas merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh guru dan siswa untuk mengumpulkan informasi yang dapat digunakan sebagai dasar dalam upaya perbaikan dan peningkatan kualitas pembelajaran.
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL DALAM TINJAUAN PEDAGOGIK*

PENDAHULUAN
Pendidikan multikultural (multicultural education) sesungguhnya bukanlah pendidikan khas Indonesia. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan khas Barat. Kanada, Amerika, Jerman, dan Inggris adalah beberapa contoh negara yang mempraktikkan pendidikan multikultural. Ada beberapa nama dan istilah lain yang digunakan untuk menunjuk pendidikan multikultural. Beberapa istilah tersebut adalah: intercultural education, interetnic education, transcultural education, multietnic education, dan cross-cultural education (L.H. Ekstrand dalam Lawrence J. Saha, 1997: 345-6).

Untuk konteks Indonesia, pendidikan multikultural baru sebatas wacana. Sejak tahun 2002 hingga sekarang ini wacana pendidikan multikultural berhembus di Indonesia. Beberapa tulisan di media, seminar, dan simposium cukup gencar mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Simposium internasional di Universitas Udayana, Denpasar, Bali, pada tanggal 16-19 Juli 2002 adalah salah satu contoh simposium yang mewacanakan pentingnya pendidikan multikultural di Indonesia. Seminar kali ini juga memiliki concern yang sama, bahwa wacana pendidikan multikultural perlu terus-menerus dihembuskan, bahkan perlu diujicobakan.

Untuk membahas topik ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pedagogik. Pendekatan ini digunakan untuk membahas bagaimana mengasuh, membesarkan, dan mendidik peserta didik melalui pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini, ada dua hal penting yang perlu ditekankan, yaitu masalah didaktik dan metodik. Masalah didaktik perlu mendapat tekanan dalam tulisan ini dengan alasan bahwa didaktik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara membuat persiapan pembelajaran dan mengorganisir bahan pembelajaran. Dalam tulisan ini, didaktik akan dikaitkan dengan bahan, materi, dan silabus, atau kurikulum dalam pendidikan multikultural. Masalah metodik juga akan ditekankan di sini, karena metodik merupakan bagian dari ilmu pendidikan yang membahas tentang cara mengajarkan suatu mata pelajaran. Dalam tulisan ini, metodik akan dikaitkan dengan manajemen dan strategi pembelajaran dalam pendidikan multikultural.

Dengan mempertimbangkan pendekatan pedagogik serta masalah didaktik dan metodik di atas, tulisan ini akan memfokuskan pembahasannya pada 3 (tiga) pokok bahasan. Ketiga pokok bahasan tersebut adalah: (1) Latar Belakang Pendidikan Multikultural, (2) Kurikulum Pendidikan Multikultural, serta (3) Strategi dan Manajemen Pendidikan Multikultural. Ketiga pokok bahasan tersebut akan dibahas secara berurutan berikut ini.

LATAR BELAKANG PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Sebagai sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-an oleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik driskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan di lembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka (Pardi Suparlan, 2002: 2-3). Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank (1989: 4-5), berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).

Alasan lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama (religion), gender, dan kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (James A. Bank, 1989: 14). Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Paling tidak keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).

Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya 3 (tiga) teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot I: Anglo Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3) Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majmuk (communal theory).

Teori pertama, Melting Pot I: Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang—seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya—harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis.

Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua, yaitu Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.

Mengingat teori kedua belum sepenuhnya demokratis, maka muncullah teori ketiga, yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katholik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mosaik yang indah.

Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk konteks Indoneisa, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.

Lebih jauh, menurut Jose A. Cardinas (1975: 131), pentingnya pendidikan multikultural ini didasarkan pada lima pertimbangan: (1) incompatibility (ketidakmampuan hidup secara harmoni), (2) other languages acquisition (tuntutan bahasa lain), (3) cultural pluralism (keragaman kebudayaan), (4) development of positive self-image (pengembangan citra diri yang positif), dan (5) equility of educational opportunity (kesetaraan memperoleh kesempatan pendidikan). Di pihak lain, Donna M. Gollnick (1983: 29) menyebutkan bahwa pentingnya pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh beberapa asumsi: (1) bahwa setiap budaya dapat berinteraksi dengan budaya lain yang berbeda, dan bahkan dapat saling memberikan kontribusi; (2) keragaman budaya dan interaksinya merupakan inti dari masyarakat Amerika dewasa ini; (3) keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi semua orang merupakan hak bagi semua warga negara; (4) distribusi kekuasaan dapat dibagi secara sama kepada semua kelompok etnik; (5) sistem pendidikan memberikan fungsi kritis terhadap kebutuhan kerangka sikap dan nilai demi kelangsungan masyarakat demokratis; serta (6) para guru dan para praktisi pendidikan dapat mengasumsikan sebuah peran kepemimpinan dalam mewujudkan lingkungan yang mendukung pendidikan multikultural.

KURIKULUM PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Dari aspek didaktik, kurikulum merupakan salah satu aspek penting dalam pendidikan multikultural. Namun sebelum dibahas tentang masalah kurikulum pendidikan multikultural, bagian ini akan mengawali pembahasannya pada definisi dan tujuan pendidikan multikultural. Pembahasan tentang definisi dan tujuan ini penting untuk dilakukan, dengan alasan bahwa pemahaman terhadap definisi dan tujuan pendidikan multikultural ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menentukan kurikulum pendidikan multikultural.

Tentang definisi pendidikan multikultural ada baiknya dikutip pendapat Lawrence J. Saha. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. Pendidikan multikultural dapat berlangsung dalam setting pendidikan formal atau informal, langsung atau tidak langsung. Pendidikan multikultural diarahkan untuk mewujudkan kesadaran, toleransi, pemahaman, dan pengetahuan yang mempertimbangkan perbedaan kultural, dan juga perbedaan dan persamaan antar budaya dan kaitannya dengan pandangan dunia, konsep, nilai, keyakinan, dan sikap (Lawrence J. Saha, 1997: 348).

Definisi lain yang relevan untuk dikutip di sini adalah pendapat James A. Bank. Menurutnya, pendidikan multikultural dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek: konsep, gerakan, dan proses (James A. Bank, 1989: 2-3). Dari aspek konsepnya, pendidikan multikultural dipahami sebagai ide yang memandang semua siswa—tanpa memperhatikan gender dan kelas sosial mereka, etnik mereka, ras mereka, dan atau karakteristik-karakteristik kultural lainnya—memiliki kesempatan yang sama untuk belajar di kelas. Dari aspek gerakannya, pendidikan multikultural didefinisikan sebagai usaha untuk mengubah sekolah-sekolah dan institusi-institusi pendidikan sehingga siswa dari semua kelas sosial, gender, ras, dan kelompok-kelompok kultural memiliki kesempatan yang sama untuk belajar. Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah. Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus.

Sementara itu, tujuan pendidikan multikultural dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) macam tujuan, yaitu: tujuan yang berkaitan dengan sikap, pengetahuan, dan pembelajaran (Lawrence J. Saha, 1997: 349). Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek sikap (attitudinal goals) adalah untuk mengembangkan kesadaran dan kepekaan kultural, toleransi kultural, penghargaan terhadap identitas kultural, sikap responsif terhadap budaya, keterampilan untuk menghindari dan meresolusi konflik. Tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan aspek pengetahuan (cognitive goals) adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang bahasa dan budaya orang lain, dan kemampuan untuk menganalisis dan menerjemahkan perilaku kultural, dan pengetahuan tentang kesadaran perspektif kultural. Sedangkan tujuan pendidikan multikultural yang berkaitan dengan pembelajaran (instructional goals) adalah untuk memperbaiki distorsi, stereotip, dan kesalahpahaman tentang kelompok etnik dalam buku teks dan media pembelajaran; memberikan berbagai strategi untuk mengarahkan perbedaan di depan orang, memberikan alat-alat konseptual untuk komunikasi antar budaya; mengembangkan keterampilan interpersonal; memberikan teknik-teknik evaluasi; membantu klarifikasi nilai; dan menjelaskan dinamika kultural.

Memperhatikan definisi dan tujuan pendidikan multikultural di atas, maka kurikulum pendidikan multikultural seharusnya berisi tentang materi-materi yang dapat menghadirkan lebih dari satu perspektif tentang suatu fenomena kultural. Untuk menghadirkan keragaman perspektif dalam kurikulum ini, menurut James A. Bank sebagaimana dikutip Zoran Minderovic (2004: 2) dapat dilakukan dengan 4 (empat) tahapan, yaitu: (a) tahap kontribusi (contribution level), (b) tahap penambahan (additive level), (c) tahap perubahan (transformative level), dan (d) tahap aksi sosial (social action level). Bila pada tahap kontribusi, kurikulum memfokuskan pada kebudayaan minoritas tertentu, maka pada tahap penambahan, kurikulum memperkenalkan konsep dan tema-tema baru—misalnya tema-tema yang terkait dengan multikulturalisme—dengan tanpa mengubah struktur kurikulum yang esensial. Selanjutnya, bila pada tahap perubahan, kurikulum memfasilitasi para siswa untuk melihat berbagai isu dan peristiwa dari perspektif budaya minoritas, maka pada tahap aksi sosial, kurikulum mengajak para siswa untuk memecahkan problem sosial yang disebabkan oleh persepsi budaya dalam satu dimensi

Lebih jauh tentang kurikulum pendidikan multikultural ini, Mark K. Smith (2002: 3) memposisikan kurikulum pada 4 (empat) pendekatan, yaitu: (a) kurikulum sebagai silabus (curriculum as a body of knowledge to be transmitted), (b) kurikulum sebagai produk (curriculum as product), (c) kurikulum sebagai proses (curriculum as process), dan (d) kurikulum sebagai praksis (curriculum as praxis). Dalam tulisan ini, fokus akan diarahkan pada dua pendekatan, yaitu: kurikulum sebagai silabus dan kurikulum sebagai proses.

Kurikulum sebagai silabus dapat dipahami dalam pengertian “sejumlah pernyataan atau daftar pokok-pokok bahasan, bahan ajar, dan sejumlah mata pelajaran yang akan dijadikan sebagai bahan dalam proses pembelajaran” (Smith, 2002: 3). Atas dasar ini, kurikulum dimaknai sebagai kumpulan pengetahuan yang berbentuk mata pelajaran. Pendidikan yang menjadikan kurikulum sebagai silabus, dengan demikian, merupakan proses penyampaian sejumlah mata pelajaran kepada siswa dengan metode tertentu. Untuk memberikan pendidikan multikultural, sekolah atau guru perlu menelaah secara kritis tentang materi dan bahan ajar yang akan disampaikan dalam proses pembelajaran, agar tidak terjadi berbagai macam bias. Dalam kaitan ini, Sadker sebagaimana dikutip Donna M. Gollnick & Philip C. Chinn (1983: 299-300) mencatat adanya 6 (enam) macam bias dalam buku teks yang digunakan dalam pembelajaran. Keenam macam bias tersebut adalah: (a) bias yang tidak kelihatan (invisibility), (b) pemberian label (stereotyping), (c) selektivitas dan ketidakseimbangan (selectivity and inbalance), (d) tidak mengacu realitas (unreality), (e) pembagian dan isolasi (fragmentation and isolation), dan (f) bahasa (language).

Buku-buku teks yang dipakai guru dalam proses pembelajaran, umumnya, menekankan pembahasannya pada budaya-budaya mayoritas, sementara budaya-budaya minoritas sering diabaikan. Inilah yang disebut dengan bias tidak kelihatan (invisibility). Bias lain yang terdapat dalam buku-buku teks selama ini adalah adanya pemberian label kepada kelompok lain, baik positif atau negatif. Bias ini namanya stereotyping. Misalnya, orang Madura itu ulet dan orang Jawa itu pemalas. Selain itu, buku-buku teks yang dijadikan pegangan guru biasanya menggunakan perspektif budaya mayoritas dan abai terhadap perspektif budaya minoritas. Inilah yang disebut bias selectivity and imbalance. Misalnya, buku teks fiqh yang digunakan di sekolah NU, perspektif yang dipilih adalah perspektif yang sejalan dengan paham organisasi, sementara perspektif lain diabaikan. Bias lain yang terdapat dalam buku teks adalah unreality. Maksudnya, buku teks yang dijadikan pegangan guru tidak mengacu kepada data yang riil. Misalnya, buku teks Sejarah Indonesia pada masa Orde Baru banyak yang menginformasikan peristiwa dengan pelaku yang tidak sebenarnya.

Untuk mengurangi kecenderungan bias tersebut, kurikulum berbasis multikultural perlu memasukkan materi dan bahan ajar yang berorientasi pada penghargaan kepada orang lain. Dalam hubungan ini, James Lynch (1986: 86-7) merekomendasikan agar sekolah atau guru menyampaikan pokok-pokok bahasan multikultural, dengan berorientasi pada 2 (dua) tujuan, yaitu: (a) penghargaan kepada orang lain (respect for others), dan (b) penghargaan kepada diri sendiri (respect for self). Kedua bentuk penghargaan ini, mencakup 3 (tiga) ranah pembelajaran (domain of learning). Ketiga ranah pembelajaran tersebut adalah: pengetahuan (cognitive), keterampilan (psychomotor), dan sikap (affective). Rekomendasi Lynch di atas mempertimbangkan hubungan yang kompleks antara dimensi intelektual dan emosional dalam perilaku siswa.

Di pihak lain, yang dimaksud dengan kurikulum sebagai proses (curriculum as process) adalah “interaksi antara guru, siswa, dan pengetahuan di kelas” (Smith, 2002: 5). Atas dasar ini, semua yang terjadi dalam proses pembelajaran, dan semua yang dilakukan guru-siswa di kelas adalah kurikulum. Kurikulum dengan model ini, menurut Lawrence Stenhouse sebagaimana yang kutip Smith (2002: 7) menuntut 3 (tiga) langkah, yaitu: (a) perencanaan (planning), (b) telaah empirik (empirical study), dan (c) penilaian (justification). Dalam tahap perencanaan harus memuat: prinsip seleksi isi, prinsip pengembangan strategi pembelajaran, prinsip pengambilan keputusan tentang urutan materi, dan prinsip mendiagnosis kasus-kasus yang terjadi. Sementara itu, dalam tahap telaah empirik harus memuat: prinsip penilaian terhadap kemajuan siswa, prinsip penilaian terhadap kemajuan guru, petunjuk praktis pelaksanaan kurikulum dalam berbagai konteks dan situasi, serta informasi tentang perubahan efek yang terjadi karena konteks yang berbeda. Selanjutnya, dalam tahap penilaian harus memuat formulasi tujuan kurikulum yang dapat diuji secara kritis.

STRATEGI DAN MANAJEMEN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Dari aspek metodik, strategi dan manajemen pembelajaran merupakan aspek penting dalam pendidikan multikultural. Harry K. Wong, penulis buku How to be an Active Teacher the First Days of School, sebagaimana dikutip Linda Starr (2004: 2) mendefinisikan manajemen pembelajaran sebagai “praktik dan prosedur yang memungkinkan guru mengajar dan siswa belajar.” Terkait dengan praktik dan prosedur ini, Ricardo L. Garcia (1982: 146) menyebutkan 3 (tiga) faktor dalam manajemen pembelajaran, yaitu: (a) lingkungan fisik (physical environment), (b) lingkungan sosial (human environment), dan (c) gaya pengajaran guru (teaching style). Dalam pembelajaran siswa memerlukan lingkungan fisik dan sosial yang aman dan nyaman. Untuk menciptakan lingkungan fisik yang aman dan nyaman, guru dapat mempertimbangkan aspek pencahayaan, warna, pengaturan meja dan kursi, tanaman, dan musik. Guru yang memiliki pemahaman terhadap latar belakang budaya siswanya, akan menciptakan lingkungan fisik yang kondusif untuk belajar. Sementara itu, lingkungan sosial yang aman dan nyaman dapat diciptakan oleh guru melalui bahasa yang dipilih, hubungan simpatik antar siswa, dan perlakuan adil terhadap siswa yang beragam budayanya (Linda Starr, 2004: 4).

Selain lingkungan fisik dan sosial, siswa juga memerlukan gaya pengajaran guru yang menggembirakan. Menurut Garcia (1982: 146), gaya pengajaran guru merupakan gaya kepemimpinan atau teknik pengawalan yang digunakan guru dalam proses pembelajaran (the kind of leadership or governance techniques a teacher uses). Dalam proses pembelajaran, gaya kepemimpinan guru sangat berpengaruh bagi ada-tidaknya peluang siswa untuk berbagi pendapat dan membuat keputusan. Gaya kepemimpinan guru berkisar pada otoriter, demokratis, dan bebas (laizzes faire). Gaya kepemimpinan otoriter tidak memberikan peluang kepada siswa untuk saling berbagi pendapat. Apa yang diajarkan guru kepada siswa ditentukan sendiri oleh sang guru. Sebaliknya, gaya kepemimpinan guru yang demokratis memberikan peluang kepada siswa untuk menentukan materi yang perlu dipelajari siswa. Selanjutnya, guru yang menggunakan gaya kepemimpinan bebas (laizzes faire) menyerahkan sepenuhnya kepada siswa untuk menentukan materi pembelajaran di kelas. Untuk kelas yang beragam latar belakang budaya siswanya, agaknya, lebih cocok dengan gaya kepemimpinan guru yang demokratis (Donna Styles, 2004: 3).

Melalui pendekatan demokratis ini, para guru dapat menggunakan beragam strategi pembelajaran, seperti dialog, simulasi, bermain peran, observasi, dan penanganan kasus (Abdullah Aly, 2003: 70-1). Melalui dialog para guru, misalnya, mendiskusikan sumbangan aneka budaya dan orang dari suku lain dalam hidup bersama sebagai bangsa. Selain itu, melalui dialog para guru juga dapat mendiskusikan bahwa semua orang dari budaya apa pun ternyata juga menggunakan hasil kerja orang lain dari budaya lain. Sementara itu, melalui simulasi dan bermain peran, para siswa difasilitasi untuk memerankan diri sebagai orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik, budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila ada konflik di antara mereka.

Dengan strategi pembelajaran tersebut para siswa diasumsikan akan memiliki wawasan dan pemahaman yang mendalam tentang adanya keragaman dalam kehidupan sosial. Bahkan, mereka akan memiliki pengalaman nyata untuk melibatkan diri dalam mempraktikkan nilai-nilai dari pendidikan multikultural dalam kehidupan sehari-hari. Sikap dan perilaku yang toleran, simpatik, dan empatik pun pada gilirannya akan tumbuh pada diri masing-masing siswa. Dengan demikian, proses pembelajaran yang difasilitasi guru tidak sekadar berorientasi pada ranah kognitif, melainkan pada ranah afektif dan psikomotorik sekaligus.

Selanjutnya, pendekatan demokratis dalam proses pembelajaran dengan beragam strategi pembelajaran tersebut menempatkan guru dan siswa memiliki status yang setara (equal status), karena masing-masing dari mereka merupakan anggota komunitas kelas yang setara juga. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang absolut. Perilaku guru dan siswa harus diarahkan oleh kepentingan individu dan kelompok secara seimbang. Aturan-aturan dalam kelas harus dibagi untuk melindungi hak-hak guru dan siswa. Adapun hak-hak guru dalam proses pembelajaran meliputi: (a) guru berhak menilai para siswa sebagai manusia dan hak mereka sebagai manusia, (b) guru berhak mengetahui kapan menerapkan gaya pengajaran yang berbeda—otoriter, demokratis, dan bebas—untuk meningkatkan hak-hak siswa, (c) guru berhak mengetahui kapan dan bagaimana menerapkan ketidakpatuhan sipil, dan (d) guru berhak memahami kompleksitas aturan bagi mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas. Di pihak lain, para siswa memiliki hak-hak sebagai berikut: (a) siswa berhak mengetahui hak sipil dan kewajibannya, dan (b) siswa berhak mengetahui bagaimana menggunakan hak dan kewajibannya (Garcia, 1982: 160).

Lebih jauh, pendekatan demokratis dalam pembelajaran ini menuntut guru memiliki kompetensi multikultural. Farid Elashmawi dan Philip P. Harris (1994: 6-7) menawarkan 6 (enam) kompetensi multikultural guru, yaitu: (a) memiliki nilai dan hubungan sosial yang luas, (b) terbuka dan fleksibel dalam mengelola keragaman siswa, (c) siap menerima perbedaan disiplin ilmu, latar belakang, ras, dan gender; (d) memfasilitasi pendatang baru dan siswa yang minoritas, (e) mau berkolaborasi dan koalisi dengan pihak mana pun, dan (f) berorientasi pada program dan masa depan. Selain itu, James A. Bank (1989: 104-5) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam pembelajaran.

PENUTUP
Memperhatikan uraian di depan dapatlah dikatakan bahwa pendidikan multikultural menemukan relevansinya untuk konteks Indonesia. Pendidikan multikultural yang selama ini baru diwacanakan oleh para pemerhati pendidikan, sudah saatnya untuk disambut oleh para pengambil kebijakan dan para praktisi pendidikan. Sebagai sebuah konsep, pendidikan multikultural sejalan dengan semangat semboyan bangsa Indonesia: “Bhinneka Tunggal Ika”. Semboyan yang sangat adil dan demokratis ini memiliki pengertian bahwa Indonesia merupakan salah satu bangsa di dunia yang terdiri dari beragam suku dan ras, yang mempunyai budaya, bahasa, dan agama yang berbeda-beda tetapi dalam kesatuan Indonesia. Semboyan ini mengandung seni manajemen untuk mengatur keragaman Indonesia (the art of managing diversity), yang terdiri dari 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, 5 agama resmi, dan latar belakang kesukuan yang sangat beragam. Dengan semboyan ini diharapkan masing-masing individu dan kelompok yang berbeda suku, bahasa, budaya, dan agama dapat bersatu dan bekerjasama untuk membangun bangsanya secara lebih kuat.

Sayangnya, selama pemerintahan Orde Baru keragaman tersebut belum dikelola secara proporsional, dengan menerima perbedaan, mengakui dan menghargainya. Yang terjadi adalah proses penyeragaman dan pengabaian terhadap perbedaan yang ada, baik dari segi suku, bahasa, agama, maupun budayanya. Semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” pun diterapkan secara berat sebelah. Artinya, semangat ke-ika-an lebih menonjol dari pada semangat ke-bhinneka-annya dalam pengelolaan negara Indonesia. Pengelolaan negara dengan penekanan pada semangat ke-ika-an dari pada semangat ke-bhinneka-an tersebut sangat mewarnai konsep dan praktik pendidikan di Indonesia. Indikatornya terlihat pada: (1) terjadinya penyeragaman terhadap berbagai aspek pendidikan—seperti kurikulum, metode pembelajaran, dan manajemen kelas, (2) terjadi sentralisasi pendidikan, yang sarat dengan instruksi, petunjuk, dan pengarahan dari atas, sebagai akibat dari paradigma pendidikan sentralistik (top-dawn), dan (3) belum adanya proses menghargai dan mengakomodasi perbedaan latar belakang siswa yang menyangkut budaya, etnik, bahasa, dan agama.

Sebagai konsep, pendidikan multikultural juga sejalan dengan semangat Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) Tahun 2003. Salah satu diktum dari UUSPN Tahun 2003 tersebut menyebutkan bahwa pendidikan nasional meletakkan salah satu prinsipnya: “bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.” Diktum ini menunjukkan bahwa pendidikan nasional sangat welcome dengan konsep pendidikan multikultural. Persoalannya, bagaimana kesiapan para pengambil kebijakan dan para pelaku pendidikan di lapangan? Wallah a’lam bi as-sawab!


DAFTAR BIBLIOGRAFI

Abdullah Aly. 2003. “Menggagas Pendidikan Islam Multikultural di Indonesia”, dalam Jurnal Ishraqi, Volume II Nomor 1, Januari-Juli 2003, hlm. 60-73.
Banks, James A. (ed.). 1989. Multicultural Education: Issues and Perspectives. Boston-London: Allyn and Bacon Press.
Buku informasi tentang Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia ke-3, Membangun Kembali Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika: Menuju Masyarakat Multikultural, 16-19 Juli 2002, di Universitas Udayana, Denpasar, Bali.
Cardinas, Jose A.. 1975. Multicultural Education: A Generation of Advocacy. America: Simon & Schuster Custom Publishing.
Edgerton, Susan Huddleston. 1996. Translation The Curriculum Multiculturalism into Cultural Studies. New York-London: Routledge Press.
Ekstrand, L.H. "Multicultural Education," dalam Saha, Lawrence J. (eds.). 1997. International Encyclopedia of the Sociology of Education. New York: Pergamon.
Elashmawi, Farid & Harris, Philip R. (1994). Multicultural Management: New Skills for Global Success. Malaysia: S. Abdul Majeed & Co.
Garcia, Ricardo L. 1982. Teaching in a Pluristic Society: Concepts, Models, Strategies. New York: Harper & Row Publisher.
Gollnick, Donna M. 1983. Multicultural Education in a Pluralistik Society. London: The CV Mosby Company.
Hopkins, Gary. 2004. Classroom Management: Principals Help Teachers Develop Essential Skill, dalam http://www.educationworld.com/a_admin/admin/admin299.shtml
Leo Suryadinata, dkk. 2003. Indonesia’s Population: Etnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
Lynch, James. 1986. Multicultural Education: Principles and Practice. London: Routledge & Kegan Paul.
Minderovic, Zoran. 2003. Multicultural Education/Curriculum, dalam http://www.findarticle/cf_0/92602/0003/2602000388/p1/article.jhtml?term=pluralism.
Parsudi Suparlan. 2002. "Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural," dalam Makalah yang diseminarkan pada Simposium Internasional ke-3, Jurnal Antropologi Indonesia, Denpasar Bali, 16-21 Juli.
Smith, Mark K. 2002. Curriculum Theory and Practice, dalam http://www.infed.org/biblio/b-curric.htm
Starr, Linda. 2004. Creating a Climate for Learning: Effective Classroom Management Technique, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/curr155.shtml.
………………... Speaking of Classroom Management: An Interviw with Harry K. Wong, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/curr161.shtml.
Styles, Donna. 2004. Class Meetings: A Democratic Approach to Classroom Management, dalam http://www.educationworld.com/a_curr/profdev012.shtml.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Penjelasannya. Jogjakarta: Media Wacana.

* Makalah ini dipresentasikan pada acara “Seminar Pendidikan Multikultural sebagai Seni Mengelola Keragaman”, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah Surakarta, pada Sabtu, 8 Januari 2005, di Ruang Seminar Fakultas Ekonomi UMS.
** Staf edukatif pada Fakultas Agama Islam (FAI) UMS dan salah seorang penggiat di PSB-PS UMS.

INFORMASI
PAS Kegiatan pelatihan guru kesenian SD se-eks-karesidenan Surakarta akan dilaksanakan pada 1-16 Desember 2007 di ISI Surakarta. Jenis kesenian yang dilatih adalah Karawitan, Tari, dan Pedalangan More...

-->>><<<--

Colloquium kerjasama PSB-PS & Forum Jakarta Paris akan dilaksakan pada 14 Desember 2007 jam 09.00-11.30 di Ruang Sidang UMS, menghadirkan Eric Geoffroy (Dosen Univ. Marc Bloch, Strasbourg, Perancis, dan peneliti seputar pemikiran Islam, khususnya tasawuf dan mistisisme Islam). More...
LATAR BELAKANG KEHADIRAN INOVASI DALAM BIDANG PENDIDIKAN
Dalam sejarah manusia belum pernah terjadi begitu besar perhatian masyarakat terhadap perubahan sosial, seperti pada akhir abad ke-20 ini. Dengan kemajuan teknologi yang sangat cepat, maka berubah dengan cepat pula berbagai bidang kehidupan. Teknologi berubah, sarana kehidupan berubah, pola tingkah laku berubah, tata nilai berubah, sistem pendidikan berubah dan berubah pula berbagai pranata sosial yang lain. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai macam kehidupan sosial yang dilakukan oleh warga masyarakat seperti pelajar, mahasiswa, ibu-ibu rumah tangga, pengusaha, pemimpin agama dan lain sebagainya.
Dengan adanya revolusi industri pertama kali, maka tenaga manusia diganti dengan tenaga mesin. Mesin terus menguntungkan perusahaan karna dengan menggunakan mesin, hasil produk meningkat dalam waktu yang relatif singkat, tetapi dengan adanya mesin banyak pekerja yang dirugikan, karna dapat mengurangi kesempatan kerja. Timbulah masalah baru bagaimana menyalurkan tenaga manusia atau membuka lapangan kerja baru, hal ini tentu saja berpengaruh terhadap program pendidikan, juga berpengaruh pada perubahan sosial yang berdampak pada sistem pendidikan yaitu, adanya perubahan paradigma dalam pendidikan, sampai pada saat ini pendidikan kita telah melalui tiga paradigma yaitu :
1. Paradigma pengajaran (teaching) dapat diartikan bahwa pendidikan hanya dapat terjadi, yang mana sudah ada guru yang mengajar. Guru adalah satu-satunya nara sumber yang akan menstranferkan ilmu. Dalam proses pengajaran, guru berperan sebagai penyaji materi kepada siswa.
2. Paradigma pembelajaran (instructional ). Paradigma ini lebih memberikan perhatian kepada siswa. Dalam paradigma ini guru bukan hanya sebagai satu-satunya nara sumber, namun juga sebagai fasilitator yang membantu siswa belajar. Tugas guru sebagai komunikator adalah mengelola pesan dan menentukan penyampaian agar dapat diterima, dalam proses pembelajaran. Media sebagai sumber belajar dan guru sebagai fasilitator.
3. Paradigma proses belajar (learning), paradigma ini menggali lebih dalam lagi seluruh aspek belajar, tidak hanya proses belajar yang ada di lingkungan formal tetapi juga di lingkungan nonformal.

Menurut Eric Ashby (1972) perkembangan pendidikan mengalami empat revolusi, yaitu :
1. Masyarakat memberi wewenang pendidikan kepada orang-orang tertentu, sehingga timbul profesi guru. Ada tiga hal yang dilakukan dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Pertama, mempersiapkan terlebih dahulu dengan teliti sebelum menstranferkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Kedua, materi-materi yang diberikan disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Ketiga, melakukan berbagai diskusi dengan masyarakat yang belajar.
2. Memakai bahasa tulis disamping bahasa lisan dalam menyajikan pelajaran di sekolah. Revolusi ini berkembang dari revolusi sebelumnya, dimana pembelajaran dengan ceramah dan diskusi, berkembang dengan adanya bahasa tulis dalam penyajian pembelajaran.
3. Detemukannya mesin cetak yang menyebabkan banyak buku yang tersedia di sekolah. Pada revolusi ini diawali dengan digunakan buku-buku sebagai sumber ilmu pengetahuan.
4. Teknologi modern dalam bidang komunikasi dengan produk yang berupa peralatan eletronik yang disajikan telah mempengaruhi seluruh sektor kehidupan termasuk pendidikan.
Perkembangan pendidikan semakin maju pada abad ke-21, yang ditandai dengan kemajuan teknologi terutama dalam teknologi komunikasi yang menunjang proses belajar tanpa batas, seperti pembelajaran mandiri melalaui internet. Pembelajaran mandiri ini disebut Cyber Learning. Cyber learning merupakan akumulasi informasi yang serba cepat dan mudah.
B. PERKEMBANGAN INOVASI PENDIDIKAN
Proses inovasi adalah serangkaian aktifitas yang dilakukan oleh individu atau organisasi, mulai sadar atau tahu adanya inovasi sampai menerapkannya (implementasikannya). Dibawah ini adalah berapa model inovasi yang berorentasi pada individu menurut beberapa ahli, yaitu:
1. Lavidge & Steiner (1961) 2. Colley (1961)
Menyadari Belum menyadari
Mengetahui Menyadari
Menyukai Memahami
Memilih Mempercayai
Mempercayai Mengambil tidakan
Membeli
4. Rogers (1962) 4. Robertson (1971)
Menyadari Persepsi tentang masalah
Menaruh perhatian Menyadari
Menilai Memahami
Mencoba Menyikapi
Menerima (adopsi) Mengesahkan
Mencoba
Menerima (adaption)
Disonasi

5. Rogers & Shoemaker (1971)

6. Klonglan & Coward (1970) 7. Zatlman & L Brooker (1971)

Beberapa model proses inovasi yang berorentasi pada organisasi menurut beberapa organisasi, yaitu : Zatlman, Ducan & Holbek, mereka mengemukakan dua tahap proses inovasi yaitu:
I. Tahap permulaan (inisiasi)
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
c. Langkah keputusan
II. Tahap implementasi
a. Langkah awal implementasi
b. Langkah kelanjutan pembinaan
Pada model proses inovasi dalam organisasi menurut Zatlman, Ducan & Holbek disebutkan bahwa proses inovasi terdiri dari dua tahap yaitu, tahap permulaan dan tahap implementasi. Berikut penjelasan tahap inovasi tersebut:
I. Tahap permulaan
a. Langkah pengetahuan dan kesadaran
Proses inovasi diawali dengan adanya pengetahuan yang dimiliki oleh si penerima inovasi. Dari pengetahuan yang diperoleh timbulah kesadaran akan adanya inovasi.
b. Langkah pembentukan sikap terhadap inovasi
Dalam tahap ini anggota membentuk sikap terhadap inovasi. Ada dua hal dan dimensi sikap yang ditunjukan terhadap adanya inovasi yaitu,sikap terbuka terhadap inovasi dan memiliki persepsi terhadap inovasi yang ditandai dengan adanya pengamatan yang menunjukkan potensi inovasi.
c. Langkah pengambilan kesimpulan
Pada langkah ini penerima inovasi mengambil keputusan untuk menerima atau menolak inovasi yang diterapkan. Sehingga tidak mengakibatkan kerugian.
II. Tahap penerimaan (implementasi)
Dalam penerapan inovasi ada dua langkah yang dilakukan yaitu, langkah awal penerimaan dan langkah lanjut pembinaan penerapan inovasi.
a. Langkah awal mencoba menerapkan sebagian inovasi
b. Langkah kelanjutan pembinaan penerapan inovasi
Tahap-tahap inovasi ini dapat diterapkan di Sekolah Dasar, misalnya pada kurikulum. Perkembangan suatu inovasi didorong oleh motivasi untuk melakukan inovasi pendidikan itu sendiri. Motivasi itu bersumber pada dua hal, kemauan sekolah atau lembaga untuk mengadakan respon terhadap tantangan perubahan masyarakat dan adanya usaha untuk menggunakan sekolah dalam memecakan masalah yang dihadapi.
Perkembangan inovasi pendidikan di Indonesia diantaranya adalah :
a. Pemerataan kesempatan belajar;
b. Kualitas pendidikan untuk menanggulangi kurangnya jumlah guru;
c. Penggunaan multimedia dalam pembelajaran.
Perkembangan inovasi pendidikan pada tingkat pendidikan dasar khususnya sekolah sudah banyak dilakukan oleh guru. Misalnya pelaksanaan kegiatan pembelajaran melalui pembelajaran terpadu; menulis tujuan pembelajaran dengan perumusan yang benar yaitu mengandung unsur audience, behavior, condition, dan degree. Sehingga dalam metode belajar terdapat inovasi yang dikenal dengan Accelerated Learning, yaitu belajar dengan menggunakan relaksasi dan perasaan atau emosi yang positif. Ada tujuh langkah dalam metode belajar ini yaitu:
1. Rileks;
2. Membaca sekilas;
3. Penyerapan awal;
4. Memproses informasi;
5. Menanam ingatan dengan perasaan (emosi);
6. Menggunakan informasi; dan
7. Pengulangan terus menerus.
Beberapa inovasi menunjukan suatu perkembangan yang terus menerus seiring dengan perkembangan teknologi. Jadi beberapa inovasi tersebut, bagi orang lain dapat menjadi sesuatu yang baru atau sebaliknya, sebab orang tersebut telah mengadopsinya sejak lama.


“ SEMOGA BERMANFAAT BAGI KITA SEMUA”
Latihan modul I
1. Jelaskan pengertian inovasi secara umum!
2. Jelaskan perbedaan inovasi, teknologi dan modernisasi berikut contohnya!
3. Jelaskan tujuan mengadakan inovasi!
4. Jelaskan pengertian inovasi pendidikan!
5. Jelaskan faktor-faktor yang mendukung keberhasilan inovasi dalam bidang pendidikan
6. Jelaskan pembaharuan di bidang pendidikan meliputi apa saja? Jelaskan alasan anda!
7. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pembaruan sosial?
8. Jelaskan 3 paradigma dalam pendidikan!
9. Jelaskan 4 tahapan perkembangan pendidikan!
10. Pilih salah satu model proses inovasi! Coba jelaskan bagaimana proses inovasi itu berlangsung?
11. Jelaskan penyebab yang mendorong terjadinya inovasi dalam bidang pendidikan!
12. Jelaskan inovasi dalam bidang pendidikan!
13. Jelaskan salah satu model inovasi dari metode belajar

Modul II
1. Sebutkan satu persatu karakteristik inovasi menurut Rogers!
2. Sebutkan atribut inovasi menurut Zaltman!
3. Sebutkan satu persatu sasaran inovasi dalam bidang pendidikan yang dikemukakan oleh B. Miles!
4. Sebutkan sasaran inovasi dalam bidang pendidikan yang dikemukakan oleh Udin S. Wintaputra tersebut!
5. Sebutkan sasaran inovasi lain dalam bidang pendidikan selain yang dikemukakan oleh dua orang tersebut!
6. Sebutkan satu persatu faktor-faktor yang mempengaruhi inovasi pendidikan!
7. Cobalah anda sebutkan factor-faktor yang mempengaruhi inovasi menurut Fullan!
8. Jelaskan factor-faktor yang mempengaruhi inovasi menurut Rogers!

Jawaban :
Modul I
1. Inovasi adalah ide, gagasan atau cara baru untuk melakukan suatu perubahan/ pembahruan yang dianggap lebih efektif dan efisien agar menjadi lebih baik dan kreatif.
2. Inovasi berawal dari keinginan untuk menciptakan sesuatu yang baru dan dapat diterima oleh masyarakat
Modernisasi lebih kompleks cakupanya, tidak hanya untuk individu atau kelompok tetapi untuk bangsa, sistem politik, ekonomi, perumahan, serta berbagai macam kebiasaan dan kata modern lebih menunjukkan ke arah masyarakat yang lebih maju.
Teknologi merupakan implementasi atau aplikasi dari ilmu pengetahuan yang terdiri dari teori, praktik, prosedur, peralatan dan teknik.
3. Tujuannya adalah agar mengalami suatu perubahan ke arah yang lebih baik
4. Perubahan yang terjadi dalam bidang pendidikan sebagai dampak dari perkembangan dan kemajuan IPTEK, yang menyebabkan berubahnya paradigma pendidikan itu sendiri
5. a. Guru
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas.
b. Siswa
Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan.
c. Kurikulum
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan.
d. Fasilitas
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan. Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik.
e. Lingkup Sosial Masyarakat.
Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal.
6. Pembahruan dalam bidang pendidikan meliputi :
a. Sistem pendidikan (Kurikulum)
b. Sistem Evaluasi
c. Penerapan pembelajaran terpadu
d. Perubahan kurikulum( GBPP 1994 Menjadi KBK hingga sekarang KTSP)
e. Pembelajaran Tematik pada SD kelas awal
f. PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)
g. Accelerated Learning
h. PAKEM (Pembelajaran Aktif Kreatif Efektif dan Menyenangkan)
Pembaharuan merupakan upaya dalam meningkatkan mutu pendidikan dari waktu ke waktu, pembaharuan-pembaharuan seperti di ungkapkan diatas merupakan upaya dari pemerintah dalam memajukan pendidikan di Indonesia.
7. Perubahan perilaku dan sikap yang terjadi pada individu, kelompok, maupun organisasi
8. a. Paradigma pengajaran (teaching) dapat diartikan bahwa pendidikan hanya dapat terjadi, yang mana sudah ada guru yang mengajar. Guru adalah satu-satunya nara sumber yang akan menstranferkan ilmu. Dalam proses pengajaran, guru berperan sebagai penyaji materi kepada siswa.
b. Paradigma pembelajaran (instructional ). Paradigma ini lebih memberikan perhatian kepada siswa. Dalam paradigma ini guru bukan hanya sebagai satu-satunya nara sumber, namun juga sebagai fasilitator yang membantu siswa belajar. Tugas guru sebagai komunikator adalah mengelola pesan dan menentukan penyampaian agar dapat diterima, dalam proses pembelajaran. Media sebagai sumber belajar dan guru sebagai fasilitator.
c. Paradigma proses belajar (learning), paradigma ini menggali lebih dalam lagi seluruh aspek belajar, tidak hanya proses belajar yang ada di lingkungan formal tetapi juga di lingkungan nonformal.
9. a. Masyarakat memberi wewenang pendidikan kepada orang-orang tertentu, sehingga
timbul profesi guru. Ada tiga hal yang dilakukan dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Pertama, mempersiapkan terlebih dahulu dengan teliti sebelum menstranferkan ilmu pengetahuan kepada masyarakat. Kedua, materi-materi yang diberikan disesuaikan dengan keinginan masyarakat. Ketiga, melakukan berbagai diskusi dengan masyarakat yang belajar.
b. Memakai bahasa tulis disamping bahasa lisan dalam menyajikan pelajaran di sekolah. Revolusi ini berkembang dari revolusi sebelumnya, dimana pembelajaran dengan ceramah dan diskusi, berkembang dengan adanya bahasa tulis dalam penyajian pembelajaran.
c. Detemukannya mesin cetak yang menyebabkan banyak buku yang tersedia di sekolah. Pada revolusi ini diawali dengan digunakan buku-buku sebagai sumber ilmu pengetahuan.
d. Teknologi modern dalam bidang komunikasi dengan produk yang berupa peralatan eletronik yang disajikan telah mempengaruhi seluruh sektor kehidupan termasuk pendidikan.
10. Perubahan kurikulum, contohnya dari GBPP 1994 menjadi KBK 2004 dan KTSP 2006, ini merupakan contoh inovasi dalam bidang pendidikan, KTSP 2006 dianggap lebih baik dari kurikulum sebulumnya atau sebagai kurikulum penyempurna, kurikulum GBPP 1994 dan KBK 2004 masih bersifat sentralistik dan pendidikan masih bersifat terfokus pada guru, siswa hanya dianggap sebagai botol kosong yang siap diisi, karena KTSP lebih mencerminkan karakteristik bangsa Indonesia yang beranekaragam suku bangsa dan budaya, maka kurikulum GBPP 1994 dan KBK 2004 diganti dengan KTSP 2006.
11. a. Banyaknya masalah dalam bidang pendidikan
b. Keinginan untuk meningkatkan mutu pendidikan
c. Sebagai upaya dalam memecahkan masalah-masalah dalam bidang pendidikan
d. Perubahan sosial
12. Inovasi pendidikan merupakan upaya dasar dalam memperbaiki aspek-aspek pendidikan dalam prakteknya, yang berupa ide, barang, metode sebagai hal yang baru dan digunakan unutuk mencapai tujuan tertentu dalam pendidikan atau memecahkan masalah-masalah pendidikan.
13. Contextual Teaching and Learning /CTL
Pendekatan kontektual (Contextual Teaching and Learning /CTL) merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlansung alamiah dalam bentuk kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan mentransfer pengetahuan dari guru ke siswa. Strategi pembelajaran lebih dipentingkan daripada hasil
Modul II
1. 1) keunggulan relatif (relative advantage), adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik/unggul dari yang pernah ada sebelumnya. 2) kompatibilitas (compatibility), adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pengadopsi. 3) kerumitan (complexity), adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. 4) kemampuan diuji cobakan. (trialability), adalah derajat dimana suatu inovasi dapat diuji-coba batas tertentu, dan 5) kemampuan diamati (observability), adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain.
2. a. Pembiayaan
b. Balik modal
c. Efisiensi
d. Resiko dan ketidakpastian
e. Mudah dikomunikasikan
f. Kompatibilitas
g. Kompleksitas
h. Status Ilmiah
i. Kadar keaslian
j. Dapat dilihat manfaatnya
k. Dapat dilihat batas sebelumnya
l. Keterlibatan
m. Hubungan interpersonal
n. Kepentingan umum/ Pribadi
o. Penyuluh inovasi
3. a. Pembinaan personalia
b. Banyaknya personal dan wilayah kerja
c. Fasilitas Fisik
d. Penggunaan waktu
e. Prosedur
f. Peran yang diperlukan
g. Wawasan dan perasaan
h. Untuk hubungan antar bagian(mekanisme kerja)
i. Hubungan dengan sistem yang lain
j. Strategi
4. a. Program pendidikan dan kurikulum
b. Bahan ajar
c. Proses pembelajaran
d. Komponen ujian
e. Sistem pengelolaan
f. Pengembangan program lanjut
5. a. Metode pembelajaran
b. Model pembelajaran
c. Cyber lerning
d. E-Learning
6. a. konflik dan motivasi yang kurang sehat b. lemahnya berbagai faktor penunjang sehingga mengakibatkan tidak berkembangnya inovasi yang dihasilkan c. keuangan (finacial) yang tidak terpenuhi d. penolakan dari sekelompok tertentu atas hasil inovasi e. kurang adanya hubungan sosial dan publikasi.
7. a. Karakteristik perubahan
b. Karakteristik local
c. Faktor eksternal
8. a. Atribut inovasi
b. Tipe keputusan inovasi
c. saluran komunikasi
d. ciri-ciri sistem sosial
e. Promosi agen pembaharuan