Selasa, 09 Februari 2010

isteri Sekolah Bertaraf Internasional
Munculnya wacana sekolah nasional bertaraf internasional (SNBI) banyak mengundang rasa ingin tahu masyarakat. Sebenarnya jenis sekolah apa SNBI itu? Di samping belum jelasnya pemahaman masyarakat utamanya orang tua siswa tentang konsep rancangan SNBI, juga belum ada pemaparan oleh pihak dinas pendidikan secara proaktif membeberkan sekolah jenis tersebut.
Dengan adanya monopoli informasi di pihak lembaga pendidikan atau sekolah dan jajaran Diknas tentang konsep SNBI, maka hanya merekalah yang memahami konsep sekolah tersebut. Sebaliknya, dengan minimnya informasi di pihak masyarakat tentang konsep SNBI, maka akan muncul permasalahan ketidaktahuan secara konseptual yang tergambarkan dalam segala kebijakan (policy) dalam sekolah. Di sinilah sebenarnya ada krisis pemahaman yang diakibatkan oleh asimetri informasi (information asymmetry) antara pihak lembaga pendidikan termasuk jajaran Diknas dan masyarakat atau orang tua siswa.
Sejarah telah memberikan pelajaran kepada kita betapa berbahayanya asimetri informasi jika terjadi pada kehidupan, baik sosial, politik, dan ekonomi apalagi bidang pendidikan yang objeknya langsung publik atau orang tua. Publik yang menjadi salah satu stakeholders dari institusi pendidikan sering dijadikan objek penderita. Jika instansi pendidikan tidak menyadari akan bahayanya asimetri informasi maka mereka akan menjadi sasaran dampak asimetri itu sendiri.
Keluhan masyarakat merupakan indikasi sebagai ungkapan ketidakpuasan akibat kebijakan yang diambil dalam instansi tersebut. Seperti yang terjadi di Probolinggo ada sejumlah wali murid mengeluhkan tingginya pungutan biaya SNBI dalam satu tahun Rp 5,6 juta rupiah.
Sikap Masyarakat Berkaitan dengan sekolah yang marak diberi label internasional, ada kecenderungan muncul kebijakan yang cenderung kontroversial. Dengan label internasional, seakan-akan menjadikan hak mutlak untuk membuat kebijakan atau siasat di sekolah dengan menarik biaya mahal. Jika ini terjadi maka bisa muncul dua versi sikap masyarakat.
Pertama, bagi masyarakat atau orang tua kaya sekali pun tidak memahami makna sekolah bertaraf internasional secara konseptual, sikap mereka bisa berupa kemauan membayar mahal tetapi disertai harapan putra-putrinya dididik dan menjadi lulusan bertaraf internasional. Adapun bagi mereka yang tergolong keluarga pas-pasan, juga tidak memahami secara konseptual tentang jenis sekolah tersebut maka sikapnya bisa berupa nada protes atau keluhan beban biaya.
Kedua sikap di atas memiliki dampak negatif yang sama. Dampak sikap kelompok masyarakat yang pertama bisa saja merasa kecewa manakala putra-putrinya setelah lulus tidak menujukkan kualitas yang tergambarkan pada harapannya. Misalnya, di jenjang sekolah berikutnya atau yang lebih tinggi justru putra-putri mereka sejajar atau bahkan di bawah rata-rata dengan mereka yang bukan berasal dari sekolah berlabel internasional. Adapun bagi kelompok kedua lebih kecewa jika putra-putrinya di jenjang sekolah berikutnya juga menunjukkan hal yang sama seperti pada kelompok pertama karena telah membayar biaya mahal.
Masalah di atas bisa saja terjadi jika kebijakan sekolah hanya berdalih istilah internasional dengan konsep makna yang dipahami sendiri secara dangkal oleh pihak sekolah. Orang tua terimbas kebijakannya karena minimnya pengetahuan tentang konsep sekolah tersebut. Misalnya, ada sekolah seenaknya membuat aturan siswa harus membawa laptop ke sekolah. Apalagi kalau laptopnya dari usaha siswa sendiri dan bukannya disediakan oleh sekolah.
Apakah mau meniru Tukul Arwana? Ingat, Tukul Arwana membawa laptop di acara Empat Mata memang benda elektronik tersebut sudah disediakan dan memudahkan komunikasinya dengan pemberi pertanyaan.
Oleh karena itu, Jika sekolah menyuruh siswa membawa laptop semestinya sekolah bertaraf internasional sudah bisa menyediakannya. Belum lagi kebijakan berkaitan dengan masalah finansial. Tentunya menambah kekecewaan orang tua jika asimetri informasi antara pengambil kebijakan dan masyarakat dibiarkan begitu saja.

B. Istilah Internasional
Istilah sekolah internasional sebenarnya sudah ada sejak lama. Hanya yang dikenal sejauh ini adalah sekolah yang siswanya berasal dari berbagai negara. Sekolah ini banyak ditemui di kota-kota besar dan siswanya kebanyakan anak pejabat tinggi kedutaan, konsulat, atau ekspatriat. Merekalah yang bersekolah di jenis sekolah internasional. Kemudian di beberapa negara Eropa dan Amerika termasuk Australia juga ada sekolah internasional yang salah satu tandanya adalah mahasiswanya berasal dari berbagai negara.
Sekarang wacana sekolah berlabel internasional berkesan dijadikan komoditas jasa pendidikan sebagai alat untuk menaikkan biaya sekolah, dengan klaim lebih tinggi mutunya dibanding sekolah biasa atau nasional. Dari sini perlu dicari definisi setidaknya konsep awal sekolah yang diberi embel-embel internasional. Masyarakat atau orang tua juga perlu tahu, misalnya standar apa bisa dipakai kriteria sekolah bertaraf inetrnasional? Dari lembaga mana akreditasi sekolah tersebut dan spektrum apa saja yang bisa dimaknai internasional sehingga kriterianya jelas untuk mendapat predikat bertaraf internasional?

Dalam panduannya, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) tentang panduan KTSP sub bab Komponen KTSP bagian B poin 7.a, hanya menjelaskan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global sebagai berikut: Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik. Dengan demikian, istilah global yang mungkin disamakan dengan istilah internasional masih mengandung konsep makna yang masih abstrak.
Label internasional cenderung hanya didasarkan pada penggunaan bahasa pengantar bahasa Inggris. Jika ini yang terjadi maka sekolah akan terjebak pada makna dangkal istilah sekolah internasional. Lebih berbahaya lagi jika dijadikan dalih menarik biaya mahal. Bisakah sebuah jurusan bahasa Inggris atau kursus bahasa Inggris diklaim sebagai sekolah bertaraf internasional, meskipun lokasinya mungkin masih menyewa gedung ala kadarnya? Tetapi jika sarana prasarana sebagai justifikasi label internasional maka fasilitas apa yang mengandung makna internasional? Bukankah sekolah biasa berhak mendapat penyediaan berfasilitas internasional dari Diknas? Adakah kesepakatan definisi fasilitas atau benda apa bisa dirujuk sebagai makna atau lambang internasional?
Memang inovasi pendidikan sangat diperlukan agar sekolah bisa menjadi tumpuhan harapan pencetak sumber daya manusia (SDM) yang unggul secara global. Tetapi dengan pemahaman konsep sekolah yang hanya dimonopoli oleh pihak sekolah serta jajaran Diknas maka perlu dipertimbangkan juga hak-hak untuk tahu bagi masyarakat. Ini agar tidak terjadi asimetri informasi yang ujung-ujungnya justru masyarakat yang merasa dirugikan. Oleh karena itu, ada beberapa jalan untuk ditempuh jika ada keluhan dari pihak orang tua tehadap dampak kebijakan sekolah yang berlabel internasional.
Pertama, berilah paparan tentang konsep internasional. Jangan label tersebut dijadikan instrumen pembuat kebijakan biaya serba mahal lalu masyarakat jadi objek penderita. Kedua, jelaskan siapa pemberi akreditasi sehingga sekolah tersebut berhak mendapat predikat internasional! Lembaga apa dan ada dimana posisinya? Ketiga, jika ada benchmark, yaitu sekolah yang bisa dirujuk sebagai pembanding untuk dijadikan patokan bermutu internasional, maka tunjukkan tempat sekolah tersebut agar masyarakat bisa memutuskan bahwa sekolah tersebut layak berstandar sekolah internasional.
Dengan pemahaman yang sama oleh pihak sekolah dan masyarakat atau orang tua terhadap makna internasional, niscaya tidak timbul ekses negatif akibat asimetri informasi di masyarakat tentang SNBI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar